Sabtu, 25 April 2009

ujian nasional

UJIAN NASIONAL (UN) seolah menjadi hal yang sangat mengerikan bagi anak. Bukan hanya anak yang dihadang stres karenanya, orang tua pun ketiban buluh. Malah, sering kali orang tua yang lebih stres dibandingkan dengan anaknya. Akibatnya, orang tua memaksa anak belajar ekstra keras, nyaris melebihi takaran yang semestinya.

Kelemahan siswa dalam mempersiapkan UN pada umumnya terletak pada pengaturan manajemen waktu belajar. Terkadang siswa tidak fokus dan menganggap dengan belajar lebih lama dia akan lebih mengerti. Ketika UN yang materinya sederhana justru mereka tidak bisa mengerjakan. Ini yang sering terjadi!

peran orang tua sangat berpengaruh terhadap kesiapan mental dan psikologis siswa dalam menghadapi UN. Orang tua harus menjadi zona ternyaman bagi anak. Mereka harus paham bagaimana kondisi anak. Tidak perlu menuntut dan menekan anak agar terus belajar, apalagi memberikan target.

Anak pasti memiliki strategi sendiri dan tahu persis apa yang dia hadapi dan bagaimana cara menghadapinya. Kalau orang tua banyak menuntut harus belajar ini, harus les itu, anak justru semakin terbebani.

Selain lingkungan internal, tekanan yang dihadapi anak juga datang dari luar lingkungan sekolah dan keluarga. Media misalnya. Dari beberapa kali penyelenggaraan UN, pemberitaan terhadap pelaksanaan UN, benar-benar membuat rasa nyaman anak hilang. Belum lagi prilaku pejabat, yang suka membangun pamor jabatannya, mendatangi sekolah meninjau persiapan UN padahal anak sedang melakukan ujian.

Kondisi ini tentu memperburuk keadaan. Anak menjadi cemas, sehingga mereka gagap dalam menjawab soal. Kita mungkin sering dengar atau baca. Ada anak pintar yang nggak lulus ujian. Itu merupakan salah satu bentuk buruk daripada kecemasan yang terjadi dalam diri anak.

Kendati sikap cemas itu tidak selamanya berakibat fatal, namun dengan kebebasan bependapat dan menyampaikan informasi seperti zama sekarang ini, tentu pertahanan anak jeblok. Mereka menjadi gagap memasuki ruang kelas, padahal soal ujian yang mereka hadapi, jawabnya tidaklah seberat informasi yang berkembang diluar ruang kelas.


Akibatnya, beragam aktifitas dilakukan anak menjelang ujian. Misalnya, menggelar event seremonial seperti do'a istighosa. Adalagi bentuk lainnya. Pejabat daerah berlomba-lomba menyambangi ruang ujian anak, sekedar keliling dan difoto untuk konsumsi koran.


Hal yang tidak nyaman ini, tentu mempengaruhi kondisi mental anak, yang akhirnya bermuara pada kesiapan mereka menjawab soal-soal yang diuji. Oleh karenanya, sudah saatnya kita berhenti 'mempolitisir' UAN ini, baik untuk kepentingan pribadi, kelompok atau institusi. Perlakukan saja, UAN layaknya seperti pelaksanaan ujian semester, jangan terlalu dieksploitasi terlalu berlebihan. (*)